Pemerintah sepakat untuk meliberalisasi industri jasa perfilman nasional. Namun khusus untuk bisnis distribusi dan eksibisi film, pemerintah akan mengatur lokasi operasionalnya dengan hanya membolehkan pembukaan bioskop baru di wilayah tertentu.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf) Triawan Munaf memastikan industri jasa perfilman akan dihapus dari Daftar Negatif Investasi (DNI), yang saat ini 100 persen tertutup untuk investasi asing, kecuali untuk bidang usaha jasa teknik perfilman. Beberapa sub sektor atau bidang usaha lain yang masuk kategori industri jasa perfilman antara lain bisnis eksibsisi film atau bioskop, rumah produksi (production house), serta distribusi film nasional atau internasional.
Mereka sepakat semua bidang di perfilman di jasa teknik, produksi, distribusi dan eksibisi bioskop dibuka 100 persen untuk siapa saja, untuk semua, tidak diatur lagi.
Kendati dibuka lebar bagi pemodal asing, Triawan Munaf menegaskan bukan berarti pemerintah tidak melindungi pemain lokal. Menurutnya, pemerintah juga akan mengeluarkan aturan turunan yang nantinya akan mengatur bisnis distribusi dan pertunjukan (eksibisi) perfilman.
Termasuk di masalah eksibisi, kalau mau buka bioskop jangan di daerah yang sudah ada bioskop, termasuk jangan dekat bioskop lokal yang sudah ada, mesti ada jarak, jadi tidak akan mematikan lokal.
Sebelumnya, Barekraf mengusulkan pemodal asing diperbolehkan masuk ke bisnis bioskop dengan maksimal kepemilikan 51 persen. Alasan Barekraf membuka bisnis ini bagi asing karena mempertimbangkan rasio penduduk dan bioskop yang masih kecil.
Barekraf mencatat, saat ini jumlah bioskop di Indonesia sebanyak 1.054 layar. Dengan asumsi total jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa saat ini, maka rasio perbandingan bioskop dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 1:240 juta jiwa.
Sumber :
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160120150031-92-105581/industri-film-diliberalisasi-asing-bebas-kuasai-bioskop/